Redaksi Utama
Minggu, 04 Mei 2025, Mei 04, 2025 WIB
Last Updated 2025-05-03T18:55:01Z
Hari Pendidikan NasionalNasionalOpini

Catatan Hari Pendidikan Nasional “Jalan Terjal Pemenuhan Hak Pendidikan dan Pelindungan Anak Indonesia”

Advertisement

 


MEDIABULELENG.COM - Setiap Anak sebagaimana amanah Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, memiliki hak yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah pemenuhan hak pendidikan, serta perlindungan khusus pada satuan pendidikan. Selain itu, UUD 1945 terkait pendidikan anak, telah termaktub pada Pasal 31, menyatakan bahwa setiap warga negara, termasuk anak-anak, berhak mendapatkan pendidikan. Negara wajib menyediakan pendidikan dasar bagi setiap warga negara dan membiayainya. Pasal 31 juga menekankan pentingnya sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 


Sebagai turunan UUD ’45 telah diterbitkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Kedua regulasi tersebut, setidaknya menjawab kewajiban negara untuk menjamin akses dan mutu pendidikan bagi seluruh anak Indonesia, termasukan didalamnya pendidikan dengan layanan khusus, pendidikan khusus, serta kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.


Selain itu, kewajiban perlindungan bagi anak Indonesia pada satuan pendidikan, juga telah diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini menyatakan bahwa anak di satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Artinya satuan pendidikan tidak sekedar menjalankan mandat pengajaran dan pembelajaran, tapi juga mandat perlindungan. Namun sampai saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas terkait pemenuhan hak pendidikan dan perlindungan anak pada satuan pendidikan.


Anak Tidak Sekolah
Data Susesnas BPS yang diolah dari beberapa tahun terahir menunjukkan masih ada 4,2 Juta Anak Tidak Sekolah (ATS) usia 6 – 18 tahun, terdiri; 0,5 Juta Anak tidak pernah sekolah sama sekali, 0,5 Juta Anak Putus Sekolah, 3,2 Anak sudah tidak bersekolah sebelum-sebelumnya. Faktor penyebab ATS adalah ekonomi, sosial budaya, akses dan layanan pendidikan yang terbatas, korban kekerasan, Anak Berhadapan Hukum, Perkawinan Anak, Anak Disabilitas, Kecanduan Gajet/Game, Anak Korban Narkoba, Anak korban kebijakan dikelurkan dari sekolah, serta faktor lainya. 


Hasil pengawasan KPAI menunjukan bahwa; Pertama, Pemerintah Pusat dan Daerah belum memiliki strategi yang solutif untuk menangani anak tidak sekolah, terutama pada faktor kendala non ekonomi. Misalkan anak korban kekerasan, kecanduan game, dan sosial budaya keluarga, tidak bisa diselesaikan dengan pemberian KIP, beasiswa atau bantuan lainya, dia harus dipulihkan psikisnya untuk berani kembali ke sekolah, Anak yang sedang menjalani pembinaan di LPKA, perlu menghadirkan satuan pendidikan filial, atau pendidikan non formal di dalam LPKA, begitu pula pendidikan anak korban narkoba yang sedang mengikuti penyembuhan di Loka Rehabilitasi BNN, serta situasi lainya.


Kedua, Pemerintah Daerah belum menindaklanjuti secara optimal dan berkelanjutan menangani anak putus sekolah yang tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan Emis, apalagi data yang tidak tercatat, yang jumlahnya lebih banyak. Sebenarnya berangkat dari data ini, profil anak dan faktor utama penyebab putus sekolah bisa dipetakan, lalu ditentukan intervensi yang sesuai kebutuhan anak, dijangkau dengan melibatkan dinas terkait anak, serta langkah spesifik, solutif, dan berkelanjutan. 


Ketiga, Sebagaimana data pengaduan di KPAI 3 tahun terakhir, masih terdapat kebijakan satuan pendidikan yang mengeluarkan anak didik, karena situasi tertentu, seperti: anak pelaku kekerasan, anak berperilaku menyimpang, anak korban kekerasan seksual, anak berhadapan dengan hukum, anak tidak membayar SPP, dan atau biaya uang pangkal dan asrama, serta situasi lainnya.


Keempat, Terdapat Anak Bekebutuhan khusus yang sedang menjalankan pembinaan dan pendampingan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) di bawah binaan Kementerian Sosial tidak terdata dalam Dapodik secara nasional, sehingga dia akan tercatat sebagai anak yang tidak pernah atau putus sekolah. Anak tersebut berpeluang tidak mendapatkan bantuan pembiayaan pendidikan dari pemerintah, seperti BOS, dan lainnya.


Kelima, Anak Disabilitas masih ditemukan ada yang belum pernah sekolah, serta sudah sekolah tapi rawan putus sekolah, karena keterbatasan informasi layanan pendidikan, keterbatasan layanan pembelajaran, keterbatas SDM Guru yang memiliki kompetensi khusus, serta keterbatasan sarana pra sarana yang dibutuhkan sesuai jenis ke-disabilitasannya.


Keenam, Akses dan Sebaran Satuan Pendidikan yang belum merata, pada daerah tertentu anak putus sekolah karena jaraknya telalu jauh dari sekolah. Pengawasan KPAI di Cianjur, Jawa Barat ditemukan Sekolah Dasar yang dalam satu Desa antar Dusun hingga 3 s.d 4 KM, sekolah SMP dan SMA di Cianjur Selatan ada yang harus ditempuh dengan ojek berbiaya 150 ribu sekali berangkat, di Kab. Bone Sulawesi Selatan, terdapat 1 Dusun hanya memiliki SD hanya sampai kelas 5, untuk meneruskan ke kelas 6 harus pindah ke Desa lain dengan jarak tempuh 5 KM lebih.


Mutu dan Tujuan Pendidikan Belum Merata dan Ajeg Tercapai
Mendapatkan layanan Pendidikan bermutu adalah hak setiap anak Indonesia, sebagaimana amanah Undang-undang. Hanya dengan pendidikan bermutu tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik. Mutu dan tujuan pendidikan akan tercapai, jika anak Indonesia mendapatkan pembelajaran yang berkualitas, responsif dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, relevan dengan lebutuhan hidup anak, serta nampak karakter dan akhlak mulia pada pribadi setiap anak Indonesia. 


Namun realitasnya, Indonesia menempati peringkat ke-68 dalam hal kualitas pendidikan berdasarkan hasil PISA 2022, yang dirilis pada 5 Desember 2023. Sementara itu, berdasarkan pemeringkatan oleh Worldtop20.org pada kuartal pertama 2023, Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 203 negara. Capaian literasi dan numerasi pendidikan di Indonesia masih belum merata, dengan sekitar 35% siswa belum mencapai kemampuan minimum.


Pada kondisi lain, tujuan pendidikan yang digariskan seharusnya mampu membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Namun realitanya, ketahanan (resiliensi) anak untuk memunculkan kontrol diri (selfcontrol) pada konsistensi pada nilai baik masih belum tercapai secara maksimal, sehingga rentan mengalami penurunan kesehatan mental, rentan terpengaruh lingkungan negatif, serta daya survival anak dalam kehidupan masih dalam menjadi tantangan.


Fokus Anggaran Pendidikan untuk Anak
Berdasarkan mandatory spending anggaran pendidikan, Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan setidaknya 20% dari APBN dan APBD. sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4). Alokasi ini bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan mengalami peningkatan yang signifikan pada 10 tahun terakhir, yaitu 69% dari Rp. 390,3 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp. 660,8 triliun pada tahun 2024, sedangkan pada APBN 2025, anggaran pendidikan mencapai Rp. 724,3 triliun.


Namun realitanya, komponan anggaran pendidikan nasional tidak hanya dikelolah oleh kementerian yang memiliki tugas dan fungsi pelayanan pendidikan secara langsung, tapi juga diberikan kepada kementerian/lembaga negara lain yang tidak memiliki tusi langsung terkait pelayanan pendidikan. Pada akhirnya 20% anggaran pendidikan nasional tidak maksimal berdampak kepada anak secara langsung. Dengan alokasi dana pendidikan pada K/L yang tidak memiliki tusi langsung terkait layanan pendidikan, maka bisa jadi komponen belanja anggaran untuk dukungan manajerial, perawatan, pengadaan barang dan jasa akan terulang pada setiap K/L, sehingga dana pendidikan yang seharusnya dapat maksimal untuk pemenuhan hak pendidikan yang bermutu, serta berdampak langsung pada anak Indonesia tidak terwujud secara utuh. 


Pada situasi lain, hasil pengawasan KPAI mendapati tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan 20% APBD sebagaimana amanah undang-undang. KPAI juga menemukan Belanja BOS pada satuan pendidikan yang banyak fokus pada dukungan manajemen dan belanja barang dan jasa, yang tidak berdampak lansung terhadap anak. Bahkan data pengaduan KPAI mecatat adanya oknum kepala sekolah menyelewengkan dana Bos, alias Korupsi.


Perlindungan Anak dari Kekerasan
Kasus kekerasan pada satuan pendidikan masih terus terjadi. Pengawasan KPAI menunjukkan kasus kekerasan pada anak ibarat fenomena “gunung es”, satu kasus nampak, yang lain masih belum terungkap, satu kasus tertangani, masih banyak lagi yang terabaikan. Tahun 2023, KPAI menerima laporan pengaduan sebanyak 3877 kasus, dari sejumlah pengaduan tersebut kekerasan pada Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya dan Agama sebanyak 329 kasus, dengan tiga aduan tertinggi; anak korban bullying/perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP), anak korban kebijakan, anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan. Sedangkan pada klister perlindungan khusus anak; data pengaduan anak korban kekerasan fisik/psikis sebanyak, 137 kasus anak korban perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP) dan 411 kasus anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis serta 3 kasus anak pelaku perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP) dan 158 anak berhadapan dengan hukum (sebagai pelaku). Sedangkan data pegaduan anak korban kekerasan seksual selama 2023, yang masuk dalam pengaduan KPAI mencapai 358 kasus, 10% terjadi di satuan pendidikan. Situasi tersebut terulang pada data pengaduan tahun 2024, dari 2057 kasus, 10% s.d 15% terjadi pada satuan pendidikan, baik pelanggaran terhadap pemenuhan hak pendidikan, maupun perlindungan khusus pada satuan pendidikan.


Data pengaduan KPAI tekait hubungan pelaku dan korban, menunjukkan bahwa pelaku kekerasan anak justru dilakukan oleh orang terdekat, mulai dari ayah kandung, ibu kandung, pihak satuan pendndikan, tetangga, aparat penegak hukum, teman, dan lainnya. Data pengawasan KPAI juga menunjukkan dampak kekarasan pada satuan pendidikan semakin memperihatinkan, tidak hanya luka fisik/psikis, bahkan korban hingga meninggal dunia dan atau mengakhiri hidup.  Ironi satuan pendidikan harusnya dapat memberikan perlindungan, rasa aman, nyaman dan menyenangkan, justru terjadi kekerasan didalamnya. Santuan pendidikan harusnya dapat menjadi rumah kedua, memperkuat fungsi pengasuhan utama orang tua, serta mampu menumbuhkan kemandirian dan ketahanan anak untuk melindungi diri sendiri.


Rekomendasi 
Berdasarkan kondisi tersebut, KPAI berpandangan bahwa pendidikan adalah instrument utama untuk mewujudkan bonus demografi sebagai generasi emas 2045 yang berkualitas dan berdaya saing, Maka pemerintah harus berkomitmen menjalankan amanah Undang-undang, sebagai upaya pemenuhan hak pendidikan dan pelindungan bagi anak Indonesia. Untuk itu, berdasarkan hasil pengawasan, tela’ah, kajian, KPAI merekomendasikan:

1. Untuk menangani Anak Tidak Sekolah (ATS) Pemerintah Pusat dan Daerah perlu berangkat dari satu data ATS, serta analisa kompleksitas faktor utama penyebab ATS, dengan strategi dan sinergi litas K/L, serta lintas organisasi pemerintah daerah terkait.


2. Pemerintah Pusat dan Daerah berkomitmen anggaran 20% Pendidikan harus sepenuhnya berdampak lansung kepada tumbuh kembang dan kepentingan terbaik bagi anak.


3. Pergeseran nilai dan karakter pada anak, hingga berdampak pada menurunnya kesehatan mental, keterlambatan kemandirian dan reseliensi pada keperibadian anak, perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah dengan langkah penguatan kurikulum dan pengajaran berbasis karakter.


4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar melakukan pemetaan ulang berbasis verifikasi lapangan terkait akses dan mutu pendidikan bagi semua, guna memastikan sebaran satuan pendidikan dapat memenuhi hak pendidikan anak Indonesia. Hasil pemetaan tersebut dapat dijadikan acuan untuk membuka unit sekolah baru, regrouping, atau pendidikan satu atap (SATAP);


5. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama agar memastikan satuan pendidikan tidak mengeluarkan peserta didik pelaku atau korban kekerasan, Anak Berkonfik Hukum, Anak Korban Narkoba, serta Anak Korban perilaku menyimpang lainnya.


6. Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar memastikan akses pendidikan untuk anak Disabilitas, serta anak berkebutuhan khusus lainnya, dengan dukungan SDM dan sarana pra sarana inklusi pada satuan pendidikan.


7. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Sosial, dan BNN agar menjalin Kerjasama untuk memastikan pemenuhan hak pendidikan bagi anak yang sedang menjalani pembinaan, rehabilitasi, dan integrasi sosial atas prilaku menyimpang.


8. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, dan Kementerian Sosial agar menjalin Kerjasama untuk memastikan anak yang mengikuti program LKSA, mendapatkan akses pendidikan, sehingga terdata dalam data nasional peserta didik.


9. Upaya perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan pada satuan pendidikan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah dengan memasifkan program penguatan kapasitas SDM dalam melakukan pencegahan dan penanganan secara berkelanjutan.


10. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, beserta Kementerian Agama RI perlu melakukan evaluasi kurikulum dan metodologi pembelajaran guna merumuskan profil lulusan yang menitikberatkan, penguatan reseliensi (ketahanan) mental, penguatan karakter, kesehatan mental, sikap spiritual dan sosial berbasis pembiasaan terintegrasi dengan lingkungan keluarga dan masyarakat;


11. Kementerian Agama RI perlu melakukan langkah kongkrit dan berdampak dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada lembaga pendidikan keagamaan. Dengan langkah berikut: (1). Kanwil bersama Kemenag Kota/Kabupaten Membentuk Satgas/Task Force, (2). Satgas Kanwil/Kemenag Kota/Kab bersama FKPP membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Pada Pesantren, (3) Satgas dan Tim Melakukan; (a) Penguatan Literasi Perlinduangan Anak di lingkungan pesantren, (b) Menyelenggarakan Bimbingan Teknis Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Pada Pesantren, (c) melakukan monitoring dan evaluasi kelembagaan pesantren agar sesuai syarat dan rukun pesantren, (d) membuka layanan pengaduan pada tingkat daerah dan pesantren, (e) membangun referral system dengan Dinas terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak. (4). Kanwil dan Kemenag Kab/Kota perlu aktif melakukan Kerjasama dengan Dinas terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak, (5). Bersama intensif melakukan pengawasan dan evaluasi berkala.


Di tengah tantangan melemahnya ketahanan mental anak, lembaga pendidikan adalah rumah kedua bagi anak, maka mutlak dibutuhkan yang lingkungan aman, nyaman, dan menyenangkan. Lembaga pendidikan saat ini tidak cukup menjalankan fungsi layanan pendidikan/pembelajaran, tapi juga harus menguatkan fungsi layanan perlindungan. 


Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025
Pendidikan adalah Jembatan Emas Menuju Peradaban Memanusiakan Manusia. 


Penulis bernama, Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar